Democratization in Nigeria

By Unknown - 22.50

Ketika masa kolonialisme, perlu adanya kekuatan militer untuk merebut dan mempertahankan wilayahnya dari jajahan bangsa lain. Namun keterlibatan militer dalam urusan negara hanyalah sebatas untuk melindungi dan untuk pertahanan negara saja. Berbeda ketika militer menguasai dan ikut campur dalam urusan politik negara yang seharusnya itu bukanlah ranah militer. Dalam hal ini banyak negara yang dikuasi oleh oknum militer bahkan dari zaman dahulu hingga saat ini. Tetapi juga banyak yang telah berubah atau bertransisi dari pemerintahan militer menjadi penganut demokrasi.


Di negara Nigeria dapat dilihat adanya transisi dari rezim militer ke demokrasi.[1] Pemerintahan militer yang terkenal menggunakan kekerasan dan mengintimidasi, banyak mendapat tentangan dari seluruh rakyat Nigeria. Adanya intervensi militer di Nigeria menjadi bagian dari krisis pembangunan negara.[2] Pendudukan militer di Afrika berawal dari adanya pemberontakan sebuah kelompok Pejabat Angkatan Darat dan mereka disebut “Free Officers” di Mesir dimana pada saat itu dipimpin oleh Jenderal Naguib dan Abdul Nasser.[3]

Perwira-perwira tersebut menggulingkan Monarki yang dipimpin Raja Farouk kemudian Angkatan Darat Mesir mengambil alih kekuasaan. Hal tersebut merupakan sesuatu yang baru bagi Afrika namun karena cepatnya informasi langsung menyebar ke Afrika Selatan. Kemudian tahun 1962 sekelompok perwira Angkatan Darat di Togo menggulingkan Olimpiade Slyvanus. Tak lama setelah itu merambah ke Ghana, Nigeria, dan Dahomey yang kemudian disebut Republik Benin jatuh ke tangan militer pada saat itu.[4]

Nigeria kemudian disetir oleh pemerintah militer kali pertama pada tahun 1966 ketika terpilihnya Perdana Menteri Abubakar Tafawa Balewa digulingkan oleh perwira militer dan jatuh ke tangan Jenderal Aguiyi-Ironsi. Rakyat Nigeria percaya bahwa militer adalah satu satunya institusi di negara yang dapat menghentikan kekacauan politik serta kepercayaan publik karena pada saat itu tahun 1964 adanya persaingan politik dan kecurangan didalamnya. Bahkan saat itu tahun 1965 jika ada yang mengikuti Barat akan dibakar hidup-hidup dan saat itu pula polisi tidak berdaya.[5]

Setelah tiga belas tahun berkuasa, rezim militer mencabut larangan partai politik pada September 1978. Kepala negara saat itu dipimpin oleh Jenderal Olusegun Obasonjo, menandatangani Keputusan No. 25 untuk mengantar Konstitusi 1979. Konstitusi 1979 yaitu meliputi Pengenalan Sistem Presidensial, doktrin pemisahan kekuasaan, ketentuan tentang Hak Asasi Manusia (HAM), kewajiban dan hak warga negara, dan independensi peradilan. Serta Presiden sebagai kepala pemerintahan dan juga panglima tertinggi Angkatan bersenjata.[6]

Kemudian telah terdaftarnya lima partai politik untuk mengikuti pemilihan. Meskipun telah mendekati pemilihan, masih adanya permasalahan yang muncul. Diantaranya para politisi memanifestasikan etnik dan sentimen keagamaan. Pada akhirnya terpilihlah Partai Nasional Nigeria (NPN). Dibalik itu banyak tentangan dari partai lain yang menganggap bahwa NPN tidak memenangkan persyaratan Konstitusi. Namun kemudian proses demokrasi dan pemilu ambruk akibat terjadinya korupsi, penjarahan massal, kekerasan dalam pemilihan, dan intoleransi politik seperti dalam kasus Shugaba dimana lawan politik dideportasi dari Nigeria. Juga adanya kecurangan yang dilakukan NPN secara massal pada tahun 1983.[7]

Adanya masalah-masalah tersebut membuat Nigeria kembali dipimpin oleh rezim militer. Tahun 1983 dipimpin oleh Jenderal Muhammadu Buhari yang dikenal disiplin. Pada rezim tersebut tidak ada rencana untuk mengembalikan negara ke demokratis. Jenderal Ibrahim Babangida menggulingkan Buhari pada Agustus 1985. Babangida meresmikan sebuah Komite Peninjau Konstitusi (CRC) untuk memeriksa kembali Konstitusi 1979 serta membuat rekomendasi. Rekomendasi tersebut kemudian dimasukkan kedalam Konstitusi 1989 yang dibatalkan. Isi dari Konstitusi 1989 meliputi Ketentuan untuk sistem dua partai, serta hak fundamental tambahan yaitu hak mendapatkan pendidikan gratis, hak atas properti, dan hak mendapatkan perawatan kesehatan.[8]

Konstitusi tersebut berjalan secara bertahap namun akhirnya dibatalkan karena pembatalan pemilihan 12 Juni oleh Babangida. Sebelum pemilihan 12 Juni, Babangida telah menciptakan sistem dua partai yang ditawarkan kepada rakyat Nigeria. Babangida mengusulkan agar para pihak memiliki pendiri yang setara. Namun dua partai yang diciptakan Babangida memperebutkan pemilihan yang kemudian dimenangkan oleh calon-calon muslim dari Social Democratic Party (SDP). Pemilihan ini sebenarnya ingin menghapuskan sentimen terhadap etnis dan agama namun dibatalkan. Akibatnya Pemerintah Interim Nasional (ING) yang dipimpin Ernest Shonekan dilantik pada tanggal 27 Agustus 1993. Namun ING hanya bertahan selama tiga bulan saja dan disingkirkan oleh Jenderal Sani Abacha tanggal 27 November 1993.[9]

Rezim Abacha menandai berakhirnya pemerintahan “Quasi Sipil” dan Republik ketiga Nigeria. Rezim Abacha melihat kembali peraturan militer, pemecatan semua institusi demokratis, dan penggantian ING oleh Dewan Pengambilan Sementara (RRC) dan Dewan Eksekutif Federal (FEC). Pembentukan transisi baru oleh Abacha diduga mengecewakan rakyat yang mengharapkannya menjadikan Chief MKO Abiola menjadi Presiden. Jenderal Abacha berupaya untuk mendapatkan dukungan publik terhadap kudetanya. Terdapat tuduhan tidak tertulis mengenai kepala militer satu-satunya yang membiayai partai politik yang terdaftar seperti NCPN, GDM, DPN, dan lainnya.[10]

Setelah masa transisi Abacha yang menyiksa, ada kabar mengejutkan yang menyatakan bahwa Abacha telah meninggal pada tanggal 8 Juni 1998. Kemudian rezim militer segera diambil alih oleh Jenderal Abdulsalami Abubaka. Konstitusi 1999 diundangkan oleh Abubaka melalui Keputusan No. 24 Mei 1999. Konstitusi memeluk sistem multipartai namun terdapat tiga partai dominan yang berpartisipasi dalam pemilihan.[11] Pemilu tahun 2003 dianggap sebagai landmark karena untuk kali pertama sejak kemerdekaan kepemimpinan politik berhasil berpindah tangan dari satu orang sipil ke sipil yang lain.[12]

Dapat kita lihat dari tahun 1963 hingga 2003 bahkan sampai saat ini negara Nigeria dipimpin lebih banyak dari kalangan militer daripada sipil. Bahkan dari kalangan militer lebih lama memimpin dibandingkan sipil. Masyarakat Nigeria menerima siapapun yang memimpin negara mereka asalkan mereka mendapatkan hak mereka dan perlindungan dari negara mereka.

Walaupun mereka dipimpin militer namun mereka tanpa sadar ataupun tidaktelah mengimplementasikan nilai nilai demokrasi. Ada juga dorongan dari rakyat ketika pada saat itu terjadi kekacauan politik dan juga adanya kudeta militer.

*Tugas Democracy and Civil Society A - HI UMM

Sumber Foto: My1Foto



[1]International Journal of Social Sciences and humanity Studies, Vol. 8 No. 1, diakses dalam www.sobiad.org/ejournals/journal_ijss/...1/Obioha.pdf (13/10/2017, 08.23 WIB), hal. 252
[2] Global Journal of Political Science and Administration, Vol.3 No.2, European Centre for Research Training and Development UK, diakses dalam www.eajournals.com (13/10/2017, 08.40 WIB), hal. 46
[3] Ibid
[4] Ibid
[5]International Journal of Social Sciences and humanity Studies, Vol. 8 No. 1, diakses dalam www.sobiad.org/ejournals/journal_ijss/...1/Obioha.pdf (13/10/2017, 08.23 WIB), hal. 254
[6] IOSR Journal of Humanities and Social Science, Vol. 19, Issue 10, Ver. VI, diakses dalam www.iosrjournals.org (15/10/2017, 20.00 WIB), hal. 28
[7] Ibid
[8] Ibid., hal. 29
[9] IOSR Journal., Op.Cit.
[10] International Journal of Social Sciences and humanity Studies, Vol. 8 No. 1, diakses dalam www.sobiad.org/ejournals/journal_ijss/...1/Obioha.pdf (13/10/2017, 08.23 WIB), hal. 259
[11] IOSR Journal of Humanities and Social Science, Vol. 19, Issue 10, Ver. VI, diakses dalam www.iosrjournals.org (15/10/2017, 20.00 WIB), hal. 29
[12] Ibid., hal. 30

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar